Cinta Butuh Waktu
Senyumnya
adalah bagian yang paling kuhafal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai
salah satu pasokan energiku. Kali ini
pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang berolahraga di Lapangan basket
sekolahku. Matanya sesekali mengarah kepadaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.
Saat itu, aku sedang membuat puisi
tentangnya, memperhatikan setiap lekuk pahatan Tuhan. Detail wajahnya tak
kulewati seincipun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang yang
tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap
lengkungan senyum itu. Aku Penggemarnya, pengagumnya dan aku seorang yang
mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata.
Secara terang-terangan, aku tak pernah
bilang cinta, namun selalu kutunjukan rasa. Entah lewat sentuhan perhatian dan
caraku membangun percakapan. Aku mencintainya terlalu mencintainya. Sampai
sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan, meskipun
semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-buru mengetuk pintu hatiku.
Di depan kelas, tempat biasa kami
bertemu, tempat dimana kami saling bertatap, ia menatap mataku dan aku menatap
matanya dan kemudian aku melihat ia menyimpulkan senyum itu lagi. Kamipun sama
sama menyumbangkan senyum dibibirku dan dibibirnya. Betapa kami sangat bahagia
cukup dengan seperti ini. Betapa cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa
tak butuh apa apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa kehilangan.
“Kamu pernah takut dengan rasa
kehilangan?” ucapnya lirih.
“Pernah bahkan aku takut dan sangat
takut, dan aku tak akan mau lagi merasakan perasaan itu.” Jawabku secepat
mungkin.
Kuperhatikan
lagi bentuk wajahnya yang begitu polos dan sangat kusukai. Seandainya aku punya
keberanian untuk menyentuh wajahnya itu.
“Kalau kau sudah berusaha begitu kuat,
namun kau tetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan kau lakukan?”
tanyanya lagi.
Kubiarkan pertanyaanya menggantung
diudara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya Tanya pada rasa
penasaran dalam hatinya. Semilir anginpun terdengar jelas dalam keheningan
berdua.
“Apa yang akan ku lakukan?” aku
mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasaran yang membesar.
Kening pria itu mengkerut ketika
pertanyaanya ku ulang, “Iya, apa yang akan kau lakukan jika rasa kehilangan
tiba tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?”
Helaan nafasku terdengar santai, “Aku
akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan
kehilangan. Setelah kutahu jawabannya, demi apapun aku tak akan mengulang
kesalahanku lagi. Dan aku, akan semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak
boleh disia-siakan.”
Jawabanku membuat ia semakin tajam
menatap wajahku, aku menunduk jadi salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti
itu. Ia mengarahkan jemarinya keatas kepala dan membelai rambutku. Aku tak tau
maksud dari sentuhan itu, aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.
Dengan matanya yang indah. Ia kembali
meminta perhatianku. “Aku merindukan dia.”
“Wanita itu lagi?” tanggapanku dengan
cepat.
Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku
ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang, tapi entah
mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa sakit dengan
pertanyaannya yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.
“Aku selalu bilang padamu, setiap
hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak
pernah menghargai perasaanmu!!!!”
Senyumnya terlihat getir ketika aku
berbicara dengan nada tinggi.
“Apakah bagimu, ada kehilangan yang
tak menyakitkan?”
“Hampir semua kehilangan pasti
menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian
atau bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita tentukan
sendiri.”
Tanpa menatap wajahku, ia kembali
mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama kehilangan?”
Aku diam dan kuketuk ketukkan jariku
sambil berfikir dengan serius, “Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu
ada, keikhlasan dan kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.”
“Lantas apa lagi?”
“Membuka hati untuk seseorang yang
baru!” Seruku dengan nada yang bersemangat, dengan senyum singkat.
“Aaah, tapiiii bukankah semua itu
butuh waktu? Termasuk juga soal cinta?”
“Emmmm, cinta butuh waktu untuk bisa
kita rasakan?” Akuu mengangguk setuju. “Tapi sampai kapan kau butuh waktu?
Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karna tak terlalu
kuat diabaikan berkali-kali, iya?”
Aku tertawa dalam hati ; yaa,
menertawai diriku sendiri.
“Lihatlah, kamu melucu !” ia ikut
tertawa sambil memandangi orang orang yang ada disekitar. “Cinta memang butuh
waktu dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah tekateki yang sulit diprediksi.”
“Aaah, kamu ini. Semuanya soal
kesiapan hati.” Bibirku meringis mencoba menutupi hatiku yang mulai nyeri,
“Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang kedalam hatimu, karna ia tak
ingin banyak hal, selain membahagiakanmu,”
“Aku juga berfikir seperti itu, tapi
aku takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang
yang mencoba masuk kedalam hatiku.”
“Bagi orang yang ingin
membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan
begitu lambat kau merasakan.”
“Tak akan pernah ada luka?” tanyanya
dengan wajah tak percaya, iapun menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat
serius, kali ini.
“Ketika tulus mencintai seseorang, ia
melakukan banyak hal karna ia mencintaimu, bukan karna ia memikirkan apa yang
akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”
“ooh, begitu manisnya cinta…..”
“Lebih manis lagi jika tak hanya satu
orang yang berjuang untuk membahagiakan, melainkan harus saling membahagiakan.”
Kalimatku membuat ia tersenyum lebar.
Aku memberikan bait puisi yang kubuat
tentangnya. Ia membacanyanya dengan senyum mempesona, senyum yang paling
kucintai dan kukagumi. Kemudian ia mengucap terimakasih. Aku bisa menebak
wajahnya terharu ketika melihat judul puisi itu, yang kuberi judul “Masa
Depan”.
Sekarang aku membaca karya tulis yang
ia buat. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia
menulis seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam masa lalu dan
kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf tulisannya, tak ada aku
disana. Aku hanya membaca sosok lain, sosok yang begitu kubenci karna
menyianyiakan pria yang kucintai saat ini. Dan ia memberi judul karyanya “Masa
Lalu”.
Aku mengulum bibirku. Usahaku masih
terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan belum cukup menyentuh hatinya.
Ia masih terpaut pada masalalunya, ketika aku sudah menganggapsosoknya sebagai
masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara
perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
Aku belum berhasil seutuhnya.
Ah, mungkin aku masih harus terus
berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia juga
menganggapku masa depan, seperti aku yang slalu menganggapnya sebagai bagian
masa depanku.
Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk
membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu
untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai.
Cinta memang butuh waktu.



0 Comments