Selamat pagi kamu. Iya kamu yang pernah singgah di sini, didekat lambung tepatnya didalam hati. Kedekatan kita hampir 2 tahun namun hanyalah sebatas sahabat. Banyak orang yang bilang bahwa persahabatan laki laki dan perempun itu seperti mencintai milik orang lain. Dari yang awalnya hanya teman kepanitiaan, mulai datang perhatian kecil dan semangat semangat kecil yang kau berikan menimbulkan rasa nyaman yang sulit untuk ditinggalkan. Aku sempat berfikir bahwa aku dan kamu akan menjadi kita, dulu. Aku percaya denganmu bahkan sangat percaya dengan apapun yang kamu bicarakan, tapi dikampus banyak sekali yang berkata bahwa kamu adalah seorang laki laki pemberi harapan palsu kepada banyak wanita. Kurasa tidak, laki laki sebaik kamu mana mungkin mempermainkan perasaan wanita. Aku bernafas panjang, dan rasanya ingin mengatakan pada semua orang bahwa kamu tidak seperti itu, kamu baik bahkan sangat baik.
Kala itu, pernah kuingat bahwa kamu adalah orang yang paling rajin memberiku semangat ketika aku mulai putus asa, kamu adalah pendengar setiaku ketika aku tak lagi mempunyai raga untuk memendam masalahku sendirian. "Intan, kamu harus semangat" senyumnya melebar sambil menepuk bahuku. "Aku semangat, namun aku takut menhadapi hari esok, bagaimana jika ada kesalahan. Aku takut" kataku manja. " ah kamu, begitu saja takut. Besok aku akan datang, kubantu acaramu, percayalah padaku bahwa semua akan baik baik saja" Dia menatapku dengan tajam. "Janji, kau akan datang? Tak perlu repot repot kau membantu acaraku, masih banyak yang lain. Kau datang dan meyakinkanku saja aku sudah senang" aku tersenyum. "Kau ini selalu mengelak, ayo kita pulang. Besok kau masih harus berangkat pagi. Semangat ya." Dia menepuk kepalaku seperti kepada adiknya aku menyukai ini, lagi lagi dia tersenyum. Senyum itu yang selalu membuatku merasa nyaman didekatnya.
Tak terasa hati sudah mulai pagi dan aku harus segera ke kampus untuk acara hari ini, rasa takutku sudah hilang karna dia sudah menenangkanku kemarin. Bunyi chat message bbm dan kubuka ternyata dari dia, dia selalu menyemangatiku. Sungguh dia adalah laki laki terbaik. Hari itu dia benar benar datang, dia menepati janjinya, dan dia sedikit membantu acaraku bahkan. Tapi aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dia tersenyum dan mengepalkan tangannya "semangat". Aku tersenyum dan meninggalkan dia, ya Tuhan dia ada disini hanya untuk memberiku semangat. Setelah acara selesai, aku tak menemukan batang hidungnya lagi bahkan aku belum sempat mengatakan terimakasih, ah sudahlah nanti akan ku beri pesan saja. Hari demi hari, entahlah kurasa aku dan dia semakin dekat. Satu bulan dua bulan tiga bulan aku tak mengerti kenapa dia tak memberiku sinyal tentang perasaannya padaku, sedangkan dia selalu ada ketika aku membutuhkannya dia selalu memberikan semangat padaku, kenapa? Apakah benar, yang dikatakan oleh teman temanku, bahwa dia hanya seorang pemberi harapan palsu? Saat itu hatiku mulai berkecamuk. Sedih? Kurasa begitu, aku terlalu berharap lebih padanya.
Kala itu aku dan kamu sama sama disibukkan urusan masing masing antara praktikum, tugas dan organisasi sampai kita tidak saling menghubungi dan akhirnya lost contact. Sudah 3 bulan aku dan kamu tidak bersua, dikampus pun aku tak menjumpai sosokmu yaa aku faham betapa sibuknya kamu yang bersembari antara organisasi dan coass. Sempat terfikir dibenakku apakah ada yg chatnya lebih asik daripada aku? Atau mungkin kau memang benar benar sibuk? Aku tak berani menyimpulkan, siapa yang tau dalam hati seseorang. Aku merindukan dia, sejenak aku termenung dan membayangkan dia, aku rindu ketika ia menyimpulkan senyumnya...
"Heh kamuuu, kamu yang semangat dong. Tadi aku liat kamu dikampus tapi kamu ga liat aku sih" aku tersenyum membaca pesan itu, yaaa pesan darinya. Akhirnya dia menghubungiku, dan tidak ada yang hilang kurasa... Selama 3 bulan mungkin dia benar benar sedang banyak pikiran dan tidak bersama seseorang yg lebih nyaman daripada aku. Kita kembali seperti dahulu saling menyemangati dan saling menceritakan permasalahan yang membuat pusing. Entahlah, mengapa kita begitu nyaman dengan ketidak jelasan ini. Dulu, beberapa bulan yang lalu aku sangat tak ingin menyia-nyiakan kedekatan kita. Tapi jika ini kehendak Tuhan, aku bisa apa. Mungkin kita memang tidak untuk ditakdirkan bersama sebagai pasangan. Kau datang dan pergi sesuka hatimu, namun aku tetap merasa nyaman jika bercakap denganmu. Apakah aku munafik jika menganggap hubungan kita adalah persahabatan? Sadarkah kamu dengan apa yang kurasa? Apakah harus, aku yang menyatakan sesungguhnya. Terlebih dahulu? Tapi aku tak senekat itu sebagai wanita, benar katamu aku kurang berani menghadapi kenyataan.
Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan padamu, tapi aku bukan siapa siapa mu, kita hanya teman yang saling menyemangati. Terkadang aku hampir merasa tak mampu menghadapi kamu dan semua tanda tanyamu.