Namaku audy umurku 23th, aku lulusan UNS 3 tahun yang lalu. Hari ini aku resign dari pekerjaan aku yang sekarang. Sore ini sambil menikmati caffe latte di kedai favoritku, aku termenung. Aku merindukan sosoknya lagi. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang, apakah dia benar-benar melupakan aku? Tanyaku dalam hati.
Aku ingin menyelesaikan pertemuan yang pernah tertunda dulu. Andai kamu mengetahuinya, betapa bahagianya aku ketika kamu mengajakku jalan waktu itu dan betapa sedihnya aku ketika tertunda karena kesibukkan kita masing-masing. Aku menertawai diriku sendiri. Aku juga salah, aku memiliki etos kerja yang tinggi sehingga aku melewatkan kesempatan yang ternyata tidak akan datang untuk kedua kalinya. Aku rindu, hanya sebatas rindu dan ingin mengetahui keadaan kamu. Itu saja.
"Hey" tiba tiba suara itu mengejutkan aku dan membuyarkan semua lamunanku. Tersontak aku kaget, "Hey, kamu. Sama siapa?" Tanya ku sedikit terbata karna salah tingkah. "Boleh aku duduk disini? Atau kamu lagi nunggu seseorang untuk datang?" Tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku, aku menghela nafas agar sedikit tenang, "Boleh kok, duduk aja." Aku tersenyum, aku tidak menyangka semesta secepat ini mengabulkan keinginanku untuk bertemu dengannya. Meski tanpa rencana dan tidak terduga olehku dan aku sedikit gugup. "Kok kamu sendirian?" Tanya nya sambil meneguk kopi hitam miliknya dan menyimpulkan senyum. Aaaah senyum itu, selalu membuat hatiku bergetar dan membuat aku beku. Senyum yang sore ini aku rindukan, aku lega. "Iya, aku baru pulang kerja. Aku biasa ngopi disini. Sendirian tentunya. Sejenak aku melepaskan penat dengan secangkir kopi pahit, agar aku tahu tidak hanya hidupku yang pahit." Lihat aku melucu tanpa kusadari, tetapi sedikit memecah suasana. "Kamu sendiri, kenapa sendirian?" Tanyaku balik, sambil menikmati caffe latte kesukaanku. "Aku?" Tanyanya lagi dan aku mengangguk sambil menatap wajahnya yang polos. "Kebetulan lewat sih dan gatau kenapa pengen banget kopi, eh ternyata ada kamu disini." Dia menyimpulkan senyumnya sambil melihat kejendela. "Sudah lama ya, kita tidak berjumpa. Rasanya aneh, tiba-tiba kita bertemu disini tanpa sengaja. Padahal dulu, untuk bertemu saja susahnya bukan main." Dia melihat kearahku dan jujur aku beku, jantungku berdebar hebat. Aku paling benci pada keadaan ketika orang yang pernah aku sukai melihatku. Aku sedang tidak percaya diri hari ini, karna aku habis kehilangan pekerjaanku. Pasti wajahku kusut dan lusuh. Oh semesta, kenapa secepat ini kamu mempertemukan aku dengannya. Aku membiarkan pertanyaannya sedikit lama sambil menikmati lagu Dewa 19 - Kangen, ah kenapa sih lagunya bisa pas gini. Aku bergumam dalam hati. "Iya ya, udah hampir 3 tahun nggak sih? Lumayan lama juga ya. Kamu sih sibuk, ngga pernah menghubungi aku." Jawabku sudah mulai sedikit tenang dengan sedikit memecah suasana. Dia menggantungkan pertanyaanku lumayan lama, sesekali ia menolehku dan berpura-pura sedang berfikir. "Nggak kok, 2 tahun lalu aku menjengukmu di rumah sakit. Kamu lupa? Atau kamu melupakannya?" Tanyanya dengan mata menyipit dan menatap mataku dengan hangat. Aku tertawa kecil. "Iyakah? Aku lupa. Eh bukan, aku tidak tahu. Kan kamu menjengukku ketika aku masih di ICU. Jangan mengada-ada ya. Kamutuh, sok sibuk. Sama temen sendiri suka gitu, ga pernah ngabarin. Kesel." Aku menoleh kearah jendela dan menggigit bibir bawahku. Kenapa aku mengatakan seperti itu. Ah audy. "Iya, aku salah. Aku minta maaf karena aku terlalu sibuk. Kamu paham kan pekerjaan aku bagaimana, aku tidak perlu menjelaskannya lagi bukan? Kamu apa kabar? Masih sama dia?" Tanyanya lagi dengan serius dengan mata menyipit dan kemudian dia meneguk kopi hitamnya. Kubiarkan pertanyaanya menggantung, aku bergumam kenapa dia harus menanyakan ini. Aku sedikit kesal karna dia masih berfikir aku masih dengan orang itu. "Aku? Jelas baik baik saja. Dia? Dia siapa yang kamu maksud? Dia yang dinas di Bandung yang pernah aku buat story? Udah putus." Aku menjawabnya tanpa ada perkataan penjelasan, aku sengaja. "Udah Move On?" Tanyanya sambil tertawa kecil. Aku terkejut dia menanyakan itu, mataku menyipit aku meletakkan tangan didaguku dan memandangnya. "Udah, aku udah move on. Udah beberapa bulan yang lalu kok. Lagian, masa lalu itu tidak untuk direnungi tapi untuk pelajaran. Kenapa sih tiba-tiba tanya seperti itu?" Dia menghela nafas dan melihat kejendela. Matanya berat ketika akan menjawab pertanyaanku. "Kriiiiiing." Tiba tiba telfonnya bunyi dan memecah suasana hening kami. "Saya di caffe shop pak, baik bapak laksanakan. Saya segera kelokasi." Sayup terdengar suaranya menjawab telepon genggamnya. "Maaf, aku harus pergi. Ada panggilan alam. Lain kali kita ngobrol lagi, jangan pulang malem malem. Nanti aku khawatir." Katanya sambil bercanda dan berkemas hendak meninggalkan kopi hitamnya yang masih setengah. "Baiklah, tak apa. Aku sebentar lagi pulang kok, nih ngabisin kopi aku. Hati hati ya dan semangat. Makasih udah nemenin aku disini, meskipun tidak ada unsur kesengajaan." Candaku yang tidak ada lucunya sama sekali. Sedih sih, pertemuannya sesingkat ini. Tetapi aku lega. "Oke, duluan ya. See you." Dia pamit sambil menyimpulkan senyum itu dan aku hanya membalasnya dengan senyuman. Senyumnya yang teduh membuat aku semakin terbawa dengan suasana. Aku menikmati secangkir caffe latteku dan bergumam ini mimpi atau kenyataan. Aku mencubit tanganku. "Aaaww." Aku sedikit menjerit ternyata sakit, berarti ini adalah kenyataan.
Sore ini di coffe shop langganan aku, Semesta mengajarkan aku apa arti sebuah pertemuan. Sebuah rindu yang bukan membuat aku semakin membaik tapi semakin terluka dan anehnya aku menyukainya. Dia tidak melukaiku, hanya saja aku yang melukai diriku sendiri. Aku tahu bahwa jika cinta ini diteruskan hanya akan berujung bertepuk sebelah tangan meskipun aku tidak mengetahui perasaannya padaku dan pikirannya tentangku, tetapi aku menikmati keadaan dalam mencintainya. Aku berharap percakapan sore ini akan berlanjut suatu hari nanti, terimakasih sudah menghempas rindu yang membuat aku justru semakin rindu. Biarkan waktu dan semesta yang bekerja, aku akan melanjutkan hidupku meski tanpa kamu ataupun pesan singkat darimu. Aku menghabiskan caffe latte kesukaanku dan membereskan barangku. Aku pulang, dengan hati yang sedikit bahagia, dengan rindu yang semakin membuatku candu, dengan senyum pahit yang menertawakan hidupku karena semakin pahit. Tak apa, terkadang hidup seperti kopi yang harus ada rasa pahitnya agar terasa nikmat dan tidak meninggalkan khas dari rasa kopi itu sendiri.


